Hasilnya, pada kawasan-kawasan konservasi di berbagai belahan dunia, banyak dibuat “Zona Pemanfaatan Tradisional (Traditional Use Zone)” dan sebagainya, yang mengakui pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat lokal yang sebelumnya tidak pernah diizinkan. Di Uni Konservasi Alam Internasional (The International Union Conservation-IUCN), diklasifikasikan 6 kategori kawasan konservasi di antaranya adalah taman nasional di dunia. Dalam revisi tahun 1994 dari “Kategori Kawasan Konservasi”, karena meningkatnya kesadaran akan pentingnya kerjasama dengan penduduk dan masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan konservasi, maka bersama dengan “Area Pengelolaan Habitat dan Spesies (Habitat / Species Management Areas)”, ditambahkan pula “Kawasan Konservasi Pengelolaan Sumber Daya (Managed Resource Protected Areas: MRPAs)” yang mengizinkan sekaligus untuk mengelola pemanfaatan sampai batas tertentu sumber daya alam oleh masyarakat lokal. Tata kelola kawasan konservasi yang seperti ini disebut sebagai “Model Toleransi Sumber Daya”. Selain itu akhir-akhir ini, dalam rangka pengelolaan wilayah khusus untuk konservasi alam, lahir pemikiran seperti “Area Konservasi Pengelolaan Kolaboratif (Collaboratively Managed Protected Areas: CMPAs)” yang dikelola bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga dengan partisipasi dari masyarakat lokal yang lebih luas, kemudian ada pula “Area Konservasi Masyarakat Lokal dan Penduduk Asli (Indigenous / Community Conserved Areas: ICCAs)” yang menyerahkan kembali pengelolaan tanah dalam kawasan konservasi yang dulu pernah diambil kepada masyarakat lokal. Tata kelola kawasan konservasi seperti yang pertama, disebut “Model Kolaborasi Partisipasi”, sedangkan yang kemudian disebut “Model Pengelolaan Wilayah”. Model-model pengelolaan seperti ini pada praktiknya semakin meningkat di berbagai belahan dunia seperti Australia, Kolombia, Kenya, Nepal dan lain-lain, mengikat perjanjian untuk pengelolaan sumber daya alam dan mengembalikan tanah kepada masyarakat penduduk asli.